"Sebentar ya, nak. Bapak coba kas bon dulu ke bos buat uang jajan kamu". "Emang bapak gak di gaji?" (aku bertanya heran). "Bapak bulan kemarin sudah kas bon buat jajan kalian bulan lalu, sisanya buat biaya hidup bapak".
Aku menyesal tidak ikut bidik misi. Dulu mana bisa sih aku ikut bidikmisi, karena kondisi keuangan keluargaku dulunya baik-baik saja. Berbeda 90 derajat dengan yang sekarang. Kemiskinan itu sangat rentan menimpa rakyat menengah. Kecewa bercampur malu menemani setiap langkahku menuju kantor biro keuangan kampus saat aku membawa dan menyerahkan surat penundaan UKT.
Jadi teringat masa-masa verifikasi data tiga tahun yang lalu, saat aku masuk kampus ini melalui jalur SBMPTN, penyelia yang bersikukuh untuk memberiku UKT golongan 3 yang aku rasa gapnya sangat jauh dengan golongan 2, selisih tiga juta. "Kalau kamu bawa surat keterangan tidak mampu, akan saya turunkan ke golongan 1" ucap beliau. "Tidak semudah itu pak, saya masih punya motor, apakah saya harus miskin dulu baru mendapat keringanan dari kampus negeri ini" hatiku memekik. Apakah aku harus berbohong? apakah aku harus memiliki kenalan orang dalam agar semuanya berjalan lebih mudah? Tidak!!, aku tidak mau menjadi bibit penghacur bangsa, aku lebih memilih pindah negara daripada harus menjadi bibit korupsi. Saat itu aku sangat muak sekali dengan sistem "keadilan yang memihak" seperti yang aku alami ini.
Jujur saja aku iri dengan temanku yang bidikmisi tetapi ekonomi keluarganya yang aku rasa menengah keatas. Apakah ada?? BANYAK. Memang benar bahwa di bumi ini, banyak sekali ketidakadilan yang akan dirasakan. Bumi bukan tempat untuk orang-orang baik mendominasi. Apakah pandanganku ini benar atau salah, aku tidak peduli. Kenyataan inilah yang sekarang aku rasakan.
Ingin mengajukan keringanan UKT, tapi syarat berkas yang sangat sulit untuk diurus karena aku juga anak perantauan, aku hanya tinggal sendiri di sini. Aku tidak mencari kambing hitam, siapapun yang pernah merasakan hal ini, aku mau bertanya, bagaimana cara untuk merubah ketidakadilan ini? AKU BENAR-BENAR MUAK.
Jumat, 08 Februari 2019
Rabu, 06 Februari 2019
Akankah Membaik?
05.10 pagi, alarm tidak berbunyi dan aku merasa merasa bersalah. Aku lekas menuju ke kamar mandi untuk beberapa usapan air dengan beberapa hitungan. Betapa bersalahnya aku atas dosa yang tidak aku inginkan. Tuhan, maafkan aku, aku terlambat dalam pertemuan pertama denganMu di hari ini dan keluhan-keluhanku kurasa hanya ku sampaikan separuh saja, karena merasa tidak pantas untuk mengeluh lebih.
Ku tekan tombol power yang sedikit berdebu karena laptop yang tidak aku tutup sejak sore kemarin, aku terlelap didalam nyamannya suasana hujan dan pelukan sejuk yang dihasilkannya. Sempat terbuka mataku ditengah malam lalu aku mencoba mencari sela kenyamanan di dinginnya hujan yang masih menempel di serat-serat kain sprai kasur. Aku sedikit menggeliat dan kupikir aku butuh waktu sebentar setelah itu aku akan segera bangun untuk mengerjakan beberapa hal yang harus kukerjakan. Cukup sebentar dan pasti aku bangun pikirku. Ternyata aku terlalu meremehkan kekuatan kasih sayang dan kenyamanan yang ditawarkan dan diberikan oleh serat-serat kasur tersebut. Disinilah aku, di pagi hari dan sudah membuat dosa. Entah bagaimana ukuran Tuhan atas dosa yang tidak kuinginkan ini. Setidaknya aku sudah meminta maaf kepadaNya.
Sambil menatap gerakan kursor di layar putih background layar pada laptop, aku segera mengalihkan perhatianku dan mulai memikirkan bagaimana caranya aku menghabiskan sisa kuota internet yang melimpah di smartphoneku. Youtube (terdiam sejenak) atau (terdiam sejenak) oh! aku lupa kalau hal yang kulakukan malam tadi belum kulakukan. Lalu ku arahkan kursor yang dari tadi berkeliling mengitari browser untuk berselancar menuju gambar dokumen di bawah kiri monitor, lalu aku mulai mencari folder kuliah kemudian skripsi... dan revisi sempro. Begitulah folder itu kunamai. Folder yang seharusnya aku buka malam tadi. Apakah ini merupakan sebuah dosa? karena aku benar-benar lupa dan baru ingat ada kewajiban yang seharusnya juga aku prioritaskan. Mulailah kubuka file word berformat docx yang kunamai bab I. Lalu diiringi dengan temannya daftar pustaka dot docx. Setelah aku mencoba mengalihkan kembali dan membuka bab I, perhatianku tercuri dengan browser yang belum kututup. Dalam hati aku ingin menggunakan browser tersebut untuk membantuku mencari solusi atas revisiku yang sebenarnya hati ku memiliki hati nurani atau apalah istilahnya yang mengandung maksud yang sebenarnya yaitu mencari hiburan di pagi hari. Setidaknya sedikit tawa kecil di pagi hari cukup mencerahkan suasana yang dingin sisa hujan malam tadi. Baiklah hatiku aku akan memprioritaskan hati nuraniku sebentar.
Mulailah aku mencari beberapa kata-kata yang pas untuk menggantikan sajak-sajak skripsiku yang mungkin bukan selera para penguji atau lebih tepatnya salah satu penguji. Bagian revisi sebaiknya aku skip karena beberapa bagian atau sebagian besar tidak patut untuk dibicarakan karena mengandung label don't try this at home. Kugeser kursorku kearah kanan bawah monitor dan kulihat hari sudah menunjukan angka 08.15. Oh iya! aku lupa kalau kemarin adalah hari libur dan sekarang sudah hari biasa. Hari biasa sekarang sudah tidak seperti semester kemarin yang selalu menuntutku untuk menghadiri kelas di pagi hari. Not again. Good news is a bad news, bro. Kamu masih kuliah, lantas yang kulakukan sekarang hanya "sekedar" revisi skripsi dan menghadiri kelas yang di mentori oleh diri sendiri untuk mencari materi-materi penyusun sajak-sajak skripsi. Skripsiku ini juga tidak hanya berkutat pada textbook, tapi juga dengan responden-responden yang merupakan makhluk hidup yang sudah menyandang kata maha dan penggambungan nama dengan mereka. Bukan, ini bukan nama gunung seperti mahameru, tapi ini adalah mahasiswa. Responden yang aku kira akan baik-baik saja jika aku ambil sebagai objek penelitianku. Hal seperti ketidakbisaan koresponden dan beberapa keterbatasan koresponden membuatku kesal pada diriku sendiri, bukan kepada mereka yang sudah ada niat untuk membantuku. Setidaknya aku sudah menentukan jalan yang aku pilih, jadi pikirku sekarang aku harus melakukan sebaik-baiknya meskipun tidak sesuai dengan yang aku harapkan.
Sekarang aku masih berkutat dengan bab 1 sampai 3 ku, setidaknya aku masih ada progres untuk membenahi revisiku hari demi hari. Aku hari ini ditemani oleh temanku inisial putr dan diakhiri dengan huruf a. Aku agak simpati dengan temanku yang satu ini, dulunya satu dosen pembibing denganku, sialnya dia terkena tendang keluar dalam bahasa inggrisnya oleh progdiku karena kuota mahasiswa yang dirasa kelebihan padahal kenyataannya agak berlebihan jika dikatakan "kelebihan". Aku selalu memberikan dukungan moril berupa upayaku untuk mengajaknya mencari materi dan mengajaknya ke perpustakaan kampus, selebihnya aku juga mendapat timbal balik berupa tumpangan gratis menuju kampus yehee. Sangat tidak sopan kalau menyebutnya friend in benefit karena aku lebih prefer menyebutnya simbiosis mutualisme. Hari ini dia mendapat suatu ide untuk judul padahal sudah kubilang skripsi itu harus masalahnya dulu baru judul tapi yasudahlah semoga dia mendapat tuntunan dari yang MahaKuasa.
"Suwun yo!" akhir dari petualangan mengarungi belantara lembar kertas yang dipenuhi dengan kutipan ilmiah. Pagar hitam dengan jalur besinya yang sudah berkarat menyambutku dengan lengan besinya yang memintaku untuk memisahkan pertemuannya dengan saudara gagang pagar disisi yang lain.
Welcome to the bored life. Lapar. Satu kata hati yang dihasilkan dari pancaran sonar-sonar otot lambung yang memintaku untuk segera memasak. "Baik, setelah ini aku cincang tempe mentah ini". Tempe yang baru saja aku beli dari pasar saat pulang kuliah ini aromanya agak harum dan sedikit sudah mulai ada aroma asam yang menandakan tempe ini akan segera mengakhiri masa kejayaannya sebagai tempe enak. Segeralah ku siapkan bawang, cabai merah tanpa jeans yang tidak kuperbolehkan boncengan tiga, yang kuambil 10 biji. Singkat cerita, sedikit peluh menjadi saksi perjuanganku bermain tong edan bersama tempe feat. bumbu and friends di arena wajan penggorengan. Jadilah tempe ala-ala yang sudah biasa kumasak dengan bumbu seadanya ini. Tunggu!, (terdiam agak lama).... (rebahan).... (lihat line).... (AFK dalam lamunan)... (direport malaikat). Kemudian aku berpikir, apakah aneh jika memakan tempe tanpa nasi. Ternyata memang ada sesuatu yang kurang, aku mulai mengintip persediaan beras kiloan yang kusimpan, ternyata beras-beras tersebut telah menyublim entah kemana, entah diculik alien atau pergi menjemput rejeki di awal tahun. Aku harus mencari pengganti mereka pikirku. Aku mengelilingi lingkup kos disekitar, dan hasilnya absen, tidak ada yang membukakan warung di terik siang hari seperti ini, apakah mereka juga mengikuti jejak para beras yang sedang menjemput rejeki mereka?. Setelah pulang, Aku berpapasan dengan teman tetangga kosku yang juga teman kuliah satu jurusan. "Bro, ada nasi gak?". "Belum masak" jawabnya, padahal maksudku minta beras, bukan minta nasi, tapi kulihat berasnya memang sudah menipis, yasudahlah pikirku. "Pake mie aja lho". P-p-pake mie dia bilang!!. Hmmm saran yang solutif. Pikiran yang sedari tadi menggangguku muncul lagi. Apakah akan aneh kalau makan tempe tanpa nasi seperti yang nenek moyang kita ajarkan?. Bro, world is changes a lot. Okay suggest accepted.
Singkat cerita aku sudah merebus indogmie. Berpadu dan menari bersama tempe-tempe yang sedari tadi kumasak. Mereka kuaduk dan menghasilkan gerakan seperti tarian matador dan bantengnya yang saling kejar mengejar. Menggoda pikirku. Kulahaplah tempe dan mie yang sedang menari itu dengan sendok perkasa. Hmmm, rasanya seperti... (mengunyah dan fokus merasakan) hmmm... rasa mienya mendominasi. Rasa asin tempe kalah telak dengan mie ini. Sang banteng kalah dengan tarian matador.Bagaimana hari esok, aku sadar Tuhan banyak memberiku tanda agar aku tidak terlalu memikirkan masalahku, karena aku sudah berserah diri kepadaNya sambil terus berusaha sebaik mungkin dan berdoa.
Cee yaa. This is my deep though.
Langganan:
Postingan (Atom)