Sabtu, 18 September 2021

Many Fails

      "Mohon maaf mas, gak bisa lanjut ya" begitu kata dokter atau perawat yang memeriksa gigiku di tes kesehatan mediska surabaya. Sedih sih. Tapi apa iya aku bilang "ya gak bisa gitu dong dok!, gigi saya kan gak ada yang hitam" ?. Gak kan!? Maka hati harus menerima meskipun berat. Gak kaget juga di setiap perjuangan yang dilakukan manusia pasti tidak berbuah. Hal yang biasa. Aku sudah kebal dari dulu. Mulai dari ditolak SNMPTN dan SBMPTN 2014, STAN, UGM, dan UNAIR. Aku pernah merasa aku dan otakku baik-baik saja. Hingga akhirnya aku mengalami kegagalan-kegagalan tersebut. Aku merasa betapa bodohnya aku hanya karena tidak bisa menang dengan pertarungan otak. Padahal sudah 12 tahun aku bertempur, ternyata aku bukan apa-apa. Seperti itulah gambaran pemikiranku saat itu. Tapi sekarang aku sudah terbiasa bersembunyi dalam kepalsuan untuk tujuan yang baik. Yaitu untuk memberi tahu bahwa aku baik-baik saja, dan aku tidak mau dikasihani. Tersenyum dan memberikan kesan kepada orang lain bahwa "Aku benar-benar baik-baik saja".
      Setelah 4 tahun aku menempuh studiku di jenjang strata ini, aku kembali dihadapkan dengan kegagalan. Bukan karena proses studinya, melainkan karena proses setelah menyelesaikan studi. Benar, setelah lulus aku harus bagaimana. "what's next?" sambil merasa khawatir bahwa harapanku terlalu berlebih. Aku memilih jurusan yang aku tempuh karena memang aku melihat lulusan dari studi ini banyak dicari, dan ilmunya memang sangat dibutuhkan untuk kegiatan bertahan hidup selain makan, minum, dan berkembang biak. Apa?. Berkembang biak juga hal yang penting loh!. Sudahlah, aku tidak mau membahasnya lebih dalam. Intinya aku mencari passion di jurusan ini. Muda dan suka meraba-raba jalan mana yang harus dituju. Ya, ini bukan passion awalku. Passion awalku adalah seni, menulis, musik, sketsa, dan hal seni lainnya kecuali air seni. Tapi takdir bertingkah seakan-akan aku adalah budak mereka, "Gak, sandi, kamu harus ke jalan ini biar hidup kamu lebih baik". Oke, aku turutin, meskipun nantinya akan salah, aku bisa mengatasi itu setelahnya.

Sambat

Keluarga dari ibuk punya riwayat kanker. Hal tersebut mengisolasi kekhawatiran dalam diriku. Bagaimana jika aku punya anak, lalu ketika anak itu belum cukup besar, kemudian nyawaku direnggut karena kanker. Aku tidak ingin keturunanku mengalami kepedihan yang sama dengan yang dialami adikku. Juga keluarga. Apapun itu, aku kecewa dengan bapak. Bapak tidak mengenyam pendidikan sebail aku, sehingga ilmu dan mentalnya tidak cukup kuat diterpa kecerdikan kehidupan perkotaan. 

Aku kadang mencoba untuk menelusuri informasi tentang arwah bunuh diri. Mencoba mencari pembenaran akan tindakan tersebut di dunia maya. Aku malah menemui gambaran azab dan segala macam keburukan atas keputusan tersebut. Jadi anak pertama menyebalkan, harus dipaksa lahir dan mengganti rugi atas kehidupan yang tidak ingin aku jalani. Membayar segala bentuk kegagalan karena aku. Bukan inginku lahir di dunia. 

Bagaimanapun aku sudah mencurahkan isi hati kepada Tuhan lewat doa. Tapi, imanku belum setebal dan setinggi itu, aku perlu wadah yang "nyata". Harus kutuangkan sebagai bentuk cerminan diriku di masa depan.